Minggu, 25 Desember 2011

SATU ALINEA YANG RUMPANG




Diam...!!...diamlah sejenak...! Tidakkah keterlaluan bagimu,
jika engkau tidak mampu menahannya! karamkanlah jiwaku dalam tafakur, rasakan tiap mili, tiap jengkal, dengan perlahan rasa yang mengalir pada tubuhku hingga raga ini menjadi utuh dan mengerti jika diri bagian dari kalimatmu yang rumpang. Ataukah harus menjadi Anaphora terlebih dahulu agar yakini jika satu alinea yang ku tulis menyerupai roh.
aku tak akan mengundang burung gagak untuk mabuk dan menghafal bersama lalu mengatakan rahasiaku karena engkau telah meragukanku saat Engkau membiarkan diriku asing pada wujud sendiri sefasih engkau menarikan tarian hampa ini.

“jangan..jangan..” sembunyikan wajahmu, tiupkanlah lagumu meski bukan sangkakala, langit akan memahami keterpisahan dan jarak pada satu pintu awan
“jika engkau telah tinggal di rumah hati.”
Tapi bukankah kita tidak seharusnya menangisi takdir seperti yang selalu kau katakan, jiwa bukan pasifisme yang murung karena dunia ini hanyalah lambang-lambang dari tanda-tanda tapi kau tahu jika alenia tubuhmu lebih suka menyeru kefitrian.







Anaphora kata jiwa

Senin, 19 Desember 2011

SAAT MENJADI ARCA RAJA



Arca Maurya dari Tamraparni terdiam saja di pintu, menghardik sepi bukan karena anasir menunggu atau ditunggu matahari, hanya bayang dirinya yang selalu menutupi sebagian sungai tak berhulu. Apa yang dipunya hanyalah khirka lusuh karena matahari, Tak ada satu pun sebenarnya yang menghalangi untuk meninggalkan pintu itu dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. tubuhnya tak cukup besar rasanya untuk menanggung yang dikatakan pikirannya tapi memahami yang menghuni pikiran cukuplah sudah untuk sekedar menjadi sandaran sesaat ketika hatinya merasa gundah.

Namun sejarah adalah Sejarah yang tak akan mudah terhapus sekuat apapun usaha yg dilakukan, perjalanan adalah bagian dari hati, dan pikiran tak akan pernah sanggup menghilangkannya karena pikiran hanya akan mampu untuk menyembunyikan. Aku bukan hanya sekedar Alegori yang terpajang sebagai symbol kekuasaan,

“Aku Maurya,,aku maurya dari tamraparni,,,,” aku telah lama belajar menghinakan diri , walau terkadang kekhawatiran menghalus lembut dan muram kerap menentang,

Tapi…. mestinya aku merasa malu kalau masih mengkhawatirkan sesuatu. Karena Penakluk Asoka telah menyelesaikan Konsili dan mengirimkan thera-thera yang hampir saja memenggal kepalanya, saat sang raja Antiochos pemilik Maurya hampir saja ditaklukkan oleh waktu.

Aku adalah symbol hati, aku adalah symbol jiwa, aku bukan symbol kekuasaan, aku bukan symbol materi

Yang bersembunyi di balik aturan adat.

Ntah, ini musim keberapa sudah tubuh berdiri terdiam tanpa sukma, burung kecil silih berganti hinggap di bahu membisikkan petualangannya terkadang aku iri memandang mereka, pergi dan mengembara kemana saja sesukanya tanpa terpasung sepi.

Hari ini ada sepasang simurgh tengah bercengkarama di pundakku sepertinya dia sepasang kekasih.

“aku telah mengelana di laut dan di darat, lewat di atas gunung-gunung dan lembah-lembah untuk mencari cinta-Nya.” Ujarnya tiba-tiba pecahkahkan keheningan.

“ Yang aku jumpai hanya ratap dan keluh kerinduan saja yang terdengar. Banyak laut dan daratan di tengah jalan. Jangan kira perjalanan itu singkat dan kita mesti berhati kuat untuk menempuh jalan cinta yang luar biasa itu, karena jalan itu amat panjang dan laut itu dalam. Ada yang berjalan dengan susah payah dan keheranan, sambil kadang-kadang tersenyum dan kadang-kadang menangis. tapi bagiku, aku akan merasa bahagia menemukannya biar hanya jejaknya saja. Itu akan ada juga artinya, Janganlah kita menutup jiwa kita terhadap yang kita kasihi, tetapi hendaklah kita ada dalam keadaan yang serasi untuk menuntun jiwa kita ke istana kemuliaan”

“ Haruskah kita mengenal wujud cinta, atau tak cukupkah kita menjadi Burung yang baik saja dan tidak menyeret bulu-bulu kita dalam debu?”

“ sebenarnya cukup, tapi tanpa disadari kita kelihatannya sedang memuji Cinta, padahal sebenarnya kita sedang memuji diri sendiri. Ketika kau katakan hanya satu cintamu namun hatimu telah berebut dengan yang lain yaitu dengan mencintai kebutuhanmu sendiri”.

Lalu apakah kita pasangan cinta?

Aku dan kamu hanya bagian titik kecil dari cinta lalu akan berjalan dan kepakkan sayap bersama melintasi langit untuk membuka atap cakrawala hingga kita betul-betul bersujud di kemahaan cinta.

Sepasang simurgh itupun terbang hilang dibalik cahaya. Tapi akulah tetap arca yang terdiam yang juga berharap di medan kadim jadi tempat berdamai.



kontemplasi membuka atap cakrawala


Sabtu, 17 Desember 2011

TANDA JALAN MENUJU LANGIT



Sungguhpun pagi mengutus musim, Langit dan cahaya matahari seolah menyatu dilaut tanpa pantai. Seekor elang hinggap di reruntuhan awan, mengikuti angin yang telah lama bergantung tanpa ikatan, Dunia tersembunyi dalam jenis yang berbeda. elang dengan dada terbuka membebaskan keluhan, membiarkan pikirannya berjalan merdeka, mabuk ingin menyerupai kehendak berarak-arak.

Dia tidak akan menjatuhkan dirinya lagi ke atas tanah, dan tidak juga akan menutupi kepalanya dengan mahkota, karena dia telah lama membungkuk dengan rendah ke sisi hatinya. Sejak Pengembaraan itu dimulai, semuanya adalah kehidupan Kekasihnya dan dirinya bukan eksistensi lagi.

Kepaknya tidak bersarang dengan jejak tidak bertanda, melayang mengurai puncak, berayun-alun di atas sukma.

Rasa menepis buih berjulang datar, naik ke ubun-ubun hentikan benak menyeruak corak, elang diatas samawi bertentu tuju, melenakan hati menyadarkan rasa, mengikuti tanda yang diucapkan cakrawala, lalu elang purna, senyap, punah rupa pada Esa.





berayun-alun di atas sukma

Kamis, 15 Desember 2011

DUNIAMU ENGGAN DISAPA



Gumpalan mendung senantiasa menjadi rahasia kelam di bentangan bumi yang selalu diludahi langit, dan aku menyusup ke rengkuhannya berharap hampa terasa berlupa-lupa.

“Tapi ini salah“ Ikhlas jangan sampai menutup mata karena aku telah diburu kehidupan mengikuti langkah kaki menggurati detak jantung.

Tapi Aku bukan Adam yang di lontarkan dan tersungkur, lalu dengan ketidak berdayaannya menerima apa yang segala tiba, dan aku Juga Bukan Ibrahim yang membakar dirinya karena cinta, ataupun Ayub yang senantiasa menterjemah borok tubuhnya adalah kesetiaan menghamba.

Dalam keterasingan ini janggal aku berdoa walau kepak sayap nampak tertuju, aku bukan hamba yang peminta-minta, karena doaku adalah cintaku, doaku adalah kerinduanku, doaku adalah kemanunggalanku dan jangan terima aku jika dalam takbirku masih membisikkan keinginanku…

Ku memandang matahari jadi rahasia ketika engkau telah menjadi pandanganku, engkau menutupi tubuhku, menutupi sekujur jiwaku hingga waktu berlalu membenamkan cerita hati yang bergelimun sutera saat habit membuat berpura-pura.

“namun jangan keburu pergi atau engkau jemput….. karena serasa semenit temu ini ada,” maut datang sebisik tingkahnya, dan mataharipun masih menjadi rahasia kelam.





matahari jadi rahasia jiwaku

Dias 08

Minggu, 11 Desember 2011

PEREMPUAN SEPARUH BAYANG













Jauhari tertampung kandung ketika Mata perempuan itu terpaut pada taman yang setengahnya disinari rembulan, matahari tengah hanyut dari langit menyuruk diantara awan yang terbelah menunggu dua persaksian, di rindang pohon ketetapan. kerinduannya telah purba terhadap sosok kemanusiaan, namun terdampar entah dimana.

Dengan kepala yang sedikit merunduk, di sudut matanya bulir-bulir air mata itu tampak gemerlapan, memberikan kesaksian jika ada yang sedang dipikirkan, ia merasa sedikit lebih tenang saat air matanya mengalir, dia rasakan aliran air itu hingga menyentuh sudut bibirnya yang dulu indah. airmata itu tidak mungkin terancam kekeringan bahkan pudar daya fantastiknya walau keriput menjadi lintasan di setiap jengkal wajahnya tetapi di kepalanya ada sesuatu ketegangan yang mengambang, apa karena penyebabnya terlalu rasional beranggapan, hingga mudahnya kirana memburam dan begitu mudahnya hati menggelar luka, hingga Tak hentinya kenikmatan dengan derita Memberi janji yang tak ditepati.

Perempuan itu tubuhnya tak pernah sebebas kata-kata namun dalam kamar yang berterali pun, ia tidak merasakan kebencian, Hari ini waktu telah jadikan sakit dan tubuhnya terkulai lemah di barak-barak langit hingga berjelai-jelai sudah rambut beruntai dan kirjah menutup bertirai-tirai. dia telah sadari Jika bukan karena cinta ruhnya takkan sesat dipadang terbuka, namun kenapa hidup sampai begitu lama?.

tidak ada kejelasan atas jiwanya yang tak kunjung bisa membujuk Bumi walau dia telah buang jauh untuk tidak menuntut kelahiran, ataupun tidak meminta dirinya di hantarkan memanjat langit mengetuk sebuah pintu rela untuk mengambil satu bintang.

Hatinya lama sudah tak bersulam firman atau sekedar bersenda gurau dalam doa, karena jiwanya beranggapan jika doa itu ada hanya sekedar untuk menggugat Tuhan.
Cukuplah dengan nafas menjadi mukjizat yang disandang
, langkah kakinya dan derita yang dikandung jadi doa serta renta tubuhnya yang pasti tulus memperingatkannya Kalau usia hanya batas pengabdian.










saat engkau bersenda
gurau dalam doa

Selasa, 06 Desember 2011

KUBISIKKAN RAHASIA ANGIN



Rumah dengan pilar pilar itu menimbun rahasia, rumah tanpa pagar dengan pintu besar yang tertutup rapat, hingga angin tidak diberi kesempatan untuk menaruh dirinya bersembunyi, rumah dengan rahasia yang membumi.
Rumah yang berada diantara gurun dengan langit yang hampir selalu cerah dengan bintang bintang, namun terburu gerhana menutup, bulan rapat terkatup rembulan pucat merajut pawaka malaikat menunggu diujung paksina Dalam rahasia, jauh dari jarak waktu Lidahku bercakap dengan-Nya yang kupuja Melalui sebuah jalan, di perkampungan angin.
karena Kerahasiaan ini memuncak mengkerucut membentuk kegusaran ragawi walau rasaku inginnya menghilangkan yang tertabiri di hati, terasing, penglihatan tak Mampu mentafsirkan apa yang tersirat. Takdir harmoni menjadi satuan akustik yang menggangu kepastian makna, walau aku ada karena kerahasiaan ini ada.

ditepian
nil seribu malam kutunggu
tempat daun bardi hanyut menggebu
baruh berdesik tanah pasir berbisik
khalwatku berisik hati bersisik
jadi ratapan walau akhirnya akan bertemu di titik yang sama apakah Hidup hanya akan menjadi tafsir

lalu kulanjutkan dihari yang lain Seusai gelap lenyap, ranting dan daun sudah satukan tubuhnya dengan humus. kembali kumengunjungi rumah dengan halaman padang terbuka itu, ku telah Yakin mengenal, “Ini sudah pagi sebentar lagi siang lalu senja akan segera memanggil malam “ semua berulang dalam waktu yang sama. Bumi megelinjang bagai tubuh, semua serasa meninggalkan di pusat dirinya apa yang tak dapat dihadirkannya. Begitu pula di dalam hidup, saat tertidur dalam bangunku Seorang tidak menolong kulub Hanya tetap, tidak goyang, iman di jantung, lebih lebat, lebih dahsyat, badai bersabung, lebih berkabut, bercabul topan, menggarung-garung.

akupun menyadari aku digerakkan oleh khayalan yang dilengkungkan Perasaan. individualitas tidak lagi jadi lawan kata kebersamaan. Ia berkecamuk dalam tubuh, menampakkan diri lewat raga, Tak kita rasakan jantung yang terguncang dan mulut gugup terkesima ataupun gentar. Tubuh seakan-akan menghablur. Yang somatik hanya sayup-sayup, kilau bergurau, tazkiyah nafsku telah sampai ke ubun-ubun karena Kebenaran sumsum mewujudkan ruh. Hingga dirumah ini pula ku sadarkan subyek, kubangunkan jiwa yang terikat, kuselesaikan atas problem yang timbul dari pertautan jiwa dan tubuh, lalu kujadikan takdir menjadi intensitas yang telah dijinakkan.

















ketika khayalan tengah dilengkungkan Perasaan

Jumat, 02 Desember 2011

LUKISAN TANPA KANVAS

Apapun bentuk delusi yang telah pergi itu hanyalah temporer Ini bukan teka teki yang tergambar dengan sapuan kuas kecil,dan ditulis dengan huruf kursif yang sangat rapi. Aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu. meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan hingga aku tidak merasa menjadi seorang conquistador.

karena prasangkaku selalu membuat rahasia sesamar engkau memberi cinta,
sunyi paling kering, pernah kita simpan saat aku harus menggambar tanpa kanvas yang harus kulakukan sambil berlari serta membuat api agar menggigil,
"wow, engkau memberikan apa yang kau simpan."
sementara kusadari nafasku adalah potongan gambar duka yang patuh.
bukankah telah Kau lihat? Setiap mili tubuhku adalah hanya sapuan kuas, ketika diantaranya bisa kau baca romantika luka. Kuraba gambar yang tanpa kanvas itu dalam kantongku, warna yang tumpang tindih berhamburan keluar, berkejaran ,berdesakan menuju liang hati, engkau tak pernah tak sedia tak hadir dalam mati sesaatku hingga aku bisa melihat dalam kegelapan.

Namun Aku tak habis pikir, kumpulan warna seperti ini dibuat untuk apa? apa hanya untuk membuat seseorang jatuh cinta, bagaimana jika tak ada seorangpun menikmatinya?

Tapi tetap kuharap itu wajahmu,
meski kita sering lelah berbantah, menebar tengkar, menebar sangka, engkau wanita yang selalu berseloroh dengan waktu yang tak sungkan menjatuhkan air tangis membulir banyaknya, di setiap tarikan napas dan langkah kakinya, engkau perempuan yang selalu membuat keteduhan hati meski inginnya tak hanya sampai disini, tak lagi menjadi setengah hati berdo’a untuk tubuhnya yang sederhana menghitung beban dan panjangnya usia,
Aku telah mengenal
nafasmu, engkau tak ingin dikenali sebagai lukisan walau hanya dengan satu goresan warna, karena khirka kekhawatiran seringkali membungkus wangi tubuhmu,
namun kala daun kaku mengeras, hatimu lalu ikhlas luruh menderas, engkau tebarkan wangi pada jiwa orang-orang yang paling sederhana. Di istana para malaikat, ketika orang-orang sedang sibuk, lalu lalang ribut kehilangan hati….





















suatu waktu
engkau bisikkan cinta 2008